Postingan

Menggugat PMII

Muqoddimah Judul tulisan diatas bermaksud menjadikan PMII sebagai obyek, bukan subyek. Karena dengan menjadikan obyek, maka kita akan berusaha membelejeti PMII secara kritis dalam segala perspektif. Baik itu epistemologis, organisatoris, ideologis, paradigmatis, politis dll. Ini penting karena kita melihat selama ini PMII (juga hampir semua organisasi mahasiswa lainnya) seperti mandeg ditempat, tidak bergerak sesuai dengan cita-cita mulianya menjadi garda terdepan dalam setiap momen perubahan sosial. Jangankan melakukan perubahan sosial, merumuskan problem sosial saja PMII masih kebingungan. Atau menjawab pertanyaan apa dan bagaimana itu “perubahan sosial” mungkin tidak ada yang angkat tangan untuk menjelaskannya. Setiap hari yang kita saksikan PMII sibuk dengan urusan internal organisasi yang tidak pernah terselesaikan. Menurut dongeng para senior, PMII hadir untuk diproyeksikan sebagai kekuatan atau gerakan “alternatif” dalam ranah kehidupan sosial berbangsa dan bernegara serta berag

Demokrasi, Pilgub dan Politik “Ganti Rugi”

Beberapa waktu yang lalu, saya berkunjung disebuah Desa diKabupaten Bojonegoro yang kebetulan akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Desa. Dalam obrolan dengan beberapa warga desa disebuah warung kopi, penulis sangat serius mendengarkan diskusi beberapa warga desa yang membahas Pilkades. Sampai penulis termenung ketika mendengar ucapan “Nanti saya akan memilih siapa yang memberikan ganti rugi paling banyak, karena dengan mengikuti Pilkades saya terpaksa meninggalkan pekerjaan disawah, dan saya tetap butuh uang untuk menghidupi keluarga”. Secara konseptual, demokrasi memiliki arti dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya dalam berdemokrasi, rakyat dituntut untuk pro-aktif dalam berpartisipasi sesuai dengan peran dan fungsinya. Hematnya dibutuhkan keikhlasan dari warga negara agar tercipta demokrasi dalam makna diatas, tanpa ada paksaan dari pihak manapun, karena sesungguhnya politik adalah hak bukan kewajiban. Begitu juga dengan ritual demokrasi, sebut saja pemilihan gubernur j

Agustusan

Hampir setiap negara diseluruh dunia memiliki hari kemerdekaan negeri dan bangsanya, hari kemerdekaan diambil dari kapan negera tersebut memproklamirkan kemerdekaannya. Merdeka dalam arti bebas dari penjajahan oleh negara dan/ bangsa asing. Di Indonesia, proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada tanggal 17 agustus 1945. maka setiap tanggal dan/ bulan tersebut, kemerdekaan tersebut selalu diperingati dengan berbagai bentuk aktivitas negara dan warganya. Ketika saya berjalan-jalan dikota mataram, bendera merah-putih dengan berbagai bentuk dan model serta kata-kata “kemerdekaan” hampir saya jumpai disudut-sudut kota, terutama dipusat-pusat perbelanjaan dan instansi pemerintahan. Termasuk ketika masuk dipusat perbelanjaan “Mall Mataram” hampir semua outlet berlomba-lomba memasang bendera merah-putih, bahkan disalah satu outlet pakaian, mereka menjual baju dengan warna merah dan putih saja. ada yang atasan merah, bawahan putih, ataupun sebaliknya. Tetapi, ketika saya melanjutkan perjalanan

Sedulur Sikep

Ketika untuk pertama kali melihat film dokumenter tentang “Surontiko Samin” tiga bulan yang lalu, yang dibuat oleh Desantara Foundation, saya biasa-biasa saja, sepertinya tidak ada yang istimewa dalam film tersebut. Tetapi setelah beberapa kali melihatnya saya baru sadar, bahwa ternyata ada yang penting dan menarik disitu. Terutama dalam melihat realitas sosial masyarakat Indonesia yang multikultural, ternyata ada yang “tidak beres” disana, ada “penindasan” disana. Kesadaran tersebut muncul setelah saya mencoba mendiskusikan film tersebut dengan kawan-kawan, bahwa ternyata dalam film tersebut kita dipertontonkan bagaimana negara memperlakukan wong samin dengan sangat diskriminatif. Misalnya saja ketika mereka harus membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk keperluan administrasi, masalah muncul ketika wong samin tidak memeluk satupun agama yang ditetapkan oleh negara sebagai “agama resmi”. Mereka memiliki keyakinan sendiri yang sudah turun temurun sejak nenek moyang mereka. Yang diyakin

Tengger

Gambar
“Sandale mboten usah dicopot mas, didamel mawon, niki sanes masjid kok” (Sandalnya tidak usah dicopot mas, dipakai saja, ini bukan masjid kok). Kalimat tersebut keluar dengan polosnya dari seorang bapak suku tengger sambil membawakan sepatu saya masuk kedalam rumah. Ini terjadi ketika untuk pertama kalinya saya mengunjungi Tengger, akhir tahun lalu. Kalimat tersebut sangat sederhana, tapi menunjukkan rasa rendah hati yang amat dalam wong tengger terhadap kelompok agama atau kepercayaan lain, termasuk saya. Pegunungan Tengger merupakan kawasan wisata milik empat kabupaten di Jawa Timur, yaitu Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang. Tempatnya sangat indah karena puluhan gunung berada disitu, salah satunya yang paling terkenal adalah gunung bromo, yang berada ditengah-tengah lautan pasir dan bersebelahan dengan gunung semeru yang masih aktif. Hawanya sangat dingin karena berada diketinggian ± 2.100 meter dari permukaan laut. Bagi wisatawan bai