Tengger


“Sandale mboten usah dicopot mas, didamel mawon, niki sanes masjid kok” (Sandalnya tidak usah dicopot mas, dipakai saja, ini bukan masjid kok). Kalimat tersebut keluar dengan polosnya dari seorang bapak suku tengger sambil membawakan sepatu saya masuk kedalam rumah. Ini terjadi ketika untuk pertama kalinya saya mengunjungi Tengger, akhir tahun lalu. Kalimat tersebut sangat sederhana, tapi menunjukkan rasa rendah hati yang amat dalam wong tengger terhadap kelompok agama atau kepercayaan lain, termasuk saya.
Pegunungan Tengger merupakan kawasan wisata milik empat kabupaten di Jawa Timur, yaitu Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang. Tempatnya sangat indah karena puluhan gunung berada disitu, salah satunya yang paling terkenal adalah gunung bromo, yang berada ditengah-tengah lautan pasir dan bersebelahan dengan gunung semeru yang masih aktif. Hawanya sangat dingin karena berada diketinggian ± 2.100 meter dari permukaan laut.
Bagi wisatawan baik asing maupun domestik, seringkali hanya mengetahui tengger sebagai tempat wisata yang menawarkan pesona alam pegunungan dengan lautan pasirnya dan kawah gunung bromo yang menarik. Hampir setiap hari, ratusan bahkan ribuan wisatawan mengunjungi gunung bromo dipegunungan tengger. Apalagi ketika musim liburan, untuk melihat kawah saja harus antre berjam-jam. Mereka jarang sekali yang mengetahui dan menyadari bahwa masyarakat yang menghuni sepanjang lereng pegunungan tengger memiliki keyakinan, adat-istiadat, tradisi dan sejarah yang berbeda dengan masyarakat dibawah lereng gunung.
Selama ini masyarakat tengger dikenal oleh orang diluar tengger sebagai pemeluk agama hindu, anggapan tersebut bisa dimengerti karena memang tidak sedikit bangunan pura yang bisa ditemui disepanjang jalan menuju tempat wisata gunung bromo. Bahkan ditengah-tengah lautan pasir tepat dibawah kaki gunung bromo berdiri megah bangunan pura yang belum lama ini dibangun atas bantuan pemerintah. Tepat didepan pura tersebut, ada sebuah bangunan yang sudah ada sebelum pura tersebut dibangun. Bagi wisatawan, bangunan tersebut diangap sebagai bagian dari pura. Padahal itu merupakan tempat ibadah wong tengger yang disebut poten.
Menurut cerita yang dipercaya wong tengger, kata “tengger” diambil dari dua nama tokoh. Yaitu “Loro Anteng” dan “Joko Seger”, mereka adalah suami istri yang berasal dari latar belakang berbeda. Joko Seger adalah penduduk asli tengger, sedangkan Loro Anteng adalah keturunan Majapahit.
Dikisahkan, bahwa ketika Hindu Majapahit diserang oleh Islam Demak, dan Majapahit mengalami kekalahan, maka banyak dari kelompok Majapahit yang melarikan diri keluar daerah. Salah satu tempat pelarian keluarga Majapahit adalah Pegunungan Tengger. Loro Anteng adalah satu dari beberapa rombongan Majapahit yang ikut melarikan diri keTengger. Kemudian disitu bertemulah Loro Anteng dengan pemuda tampan dan soleh bernama Joko Seger, maka menikahlah mereka dan membangun keluarga.
Ketika zaman Majapahit, tengger merupakan tempat yang dianggap sakral dan suci. Daerah tersebut dinyatakan bebas dari pajak karena menghormati wilayah suci dan sakral. Penduduk Tengger dibebaskan dari pajak dengan kompensasi mereka harus merawat pegunungan tersebut dengan sebaik-baiknya. Seringkali Raja-Raja Majapahit singgah diTengger untuk bertapa dan lain sebagainya, termasuk Patih Gadjah Mada.
Wong Tengger meyakini, bahwa mereka mewarisi tradisi dan sistem keyakinan yang masih asli dari India yang dibawa oleh Aji Saka. Mereka menceritakan bahwa tempat pertama kali yang didatangi oleh Aji Saka adalah Tengger. Maka sampai sekarang mereka menolak untuk bergabung dengan Hindu-Bali yang dianggap berbeda.
Persoalan identitas keagaamaan wong tengger pertama kali muncul ditahun 1960-an, ketika negara sedang mengalami koflik paling berdarah dalam sejarah. Untuk menghindari dari stigma komunis yang anti tuhan, mereka mengatakan bahwa agama yang mereka anut adalah Buda. Tentu saja penyebutan nama Buda disini tidak lebih dari siasat agar kelompok Islam tidak membantai mereka. Disaat bersamaan, kelompok diluar Tengger kemudian mempersepsikan bahwa Wong Tengger adalah pemeluk agama Buda. Pak Dukun mengatakan “Sebenarnya dulu nama Buda merupakan pilihan kami untuk mengatakan, bahwa kami bukan Islam, Kristen dan Hindu”.
Kemudian pada tahun 1980-an, Departemen Agama dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan sebuah penelitian untuk mengidentifikasi lebih dekat sistem kepercayaan dan keyakinan wong tengger. Maka setelah penelitian selesai, Departemen Agama memasukkan Wong Tengger dalam kelompok agama Hindu. Didirikanlah Parisade Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dalam rangka men”deklarasikan” keHinduan Wong Tengger. Departemen Agama menunjuk Pak Dukun (Kepala Adat) menjadi ketua dan harus melaporkan berbagai kegiatan dan aktivitas keagamaan yang dilakukannya.
Akan tetapi, wong tengger selalu menolak untuk dianggap sama dengan Hindu Bali. Mereka menganggap bahwa ajaran dan ritual yang mereka lakukan merupakan tradisi yang masih asli dari Aji Saka India. Memang cukup berasalan, karena misalnya mereka tidak mengenal Hari Raya Nyepi seperti diBali. Mereka memiliki Hari Raya sendiri yang disebut Karo. Termasuk ritual-ritual lainnya, sama sekali berbeda dengan Hindu diBali.
Kemudian pada tahun 1990an, Departemen Agama dan PHDI menyatakan bahwa Umat Hindu diseluruh Indonesia dipersilahkan memilih untuk menjadi Hindu ala Bali atau Hindu ala Tengger. Ini mirip madzhab dan sejenisnya dalam Islam. Pak Dukun mengatakan “Dulu saya pernah disuruh mengikuti pelatihan mantra diBali, ya saya ikut saja itung-itung sambil rekreasi. Tetapi setelah pulang tetap saja saya memakai mantra yang milik kami sendiri. Karena kami yakin ini yang benar. Kami juga takut nenek moyang kami marah kalau sampai merubah tradisi apalagi mantra yang bagi kami sangat sakral”. Bagaimana?

Komentar