Sedulur Sikep

Ketika untuk pertama kali melihat film dokumenter tentang “Surontiko Samin” tiga bulan yang lalu, yang dibuat oleh Desantara Foundation, saya biasa-biasa saja, sepertinya tidak ada yang istimewa dalam film tersebut. Tetapi setelah beberapa kali melihatnya saya baru sadar, bahwa ternyata ada yang penting dan menarik disitu. Terutama dalam melihat realitas sosial masyarakat Indonesia yang multikultural, ternyata ada yang “tidak beres” disana, ada “penindasan” disana.
Kesadaran tersebut muncul setelah saya mencoba mendiskusikan film tersebut dengan kawan-kawan, bahwa ternyata dalam film tersebut kita dipertontonkan bagaimana negara memperlakukan wong samin dengan sangat diskriminatif. Misalnya saja ketika mereka harus membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk keperluan administrasi, masalah muncul ketika wong samin tidak memeluk satupun agama yang ditetapkan oleh negara sebagai “agama resmi”. Mereka memiliki keyakinan sendiri yang sudah turun temurun sejak nenek moyang mereka. Yang diyakini dibawa oleh Mbah Surantiko Samin.
Meskipun dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 disebutkan bahwa warga negara memiliki kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan, tetapi apa yang disampaikan aparat negara kepada mereka sungguh sangat paradoks dengan konstitusi tertinggi Republik ini, selain tentang Hak Asasi Manusia misalnya. Bahkan dengan arif, wong samin mengatakan lebih baik kolom agama tersebut dikosongkan dari pada harus diisi oleh agama tertentu, yang notabene itu bukan keyakinan mereka.
Wong samin merupakan sisa-sisa masyarakat pra Islam diJawa, sebelum agama-agama besar (Islam, Kristen dll) melakukan ekspansi secara besar-besaran di Nusantara, mereka telah terlebih dahulu ada. Akan tetapi, sejak kolonisasi Eropa mereka disingkirkan dan dipinggirkan dalam kehidupan sosial. Apalagi ketika Orde Baru berkuasa, mereka selalu dikategorikan sebagai primitif, pembangkang, bodoh, penghambat pembangunan dll.
Dalam film tersebut betul-betul ditunjukkan bagaimana aparat negara tidak pernah mau memahami, bahwa mereka juga adalah warga negara yang tidak boleh dibeda-bedakan dalam memperlakukannya. Bahwa Indonesia adalah negeri dengan corak dan ragam masyarakat yang beragam, baik dari sisi agama, keyakinan, ras dll. Bahwa Indonesia harus memiliki sistem politik multikultural ketika berhadapan dengan warganya.
Wong Samin, merupakan salah satu kelompok minoritas di Indonesia, yang seharusnya memiliki hak khusus dibandingkan dengan kelompok masyarakat mayoritas lainnya. Dalam Deklarasi PBB disebutkan, bahwa “Orang-orang yang termasuk bangsa atau sukubangsa, agama, dan bahasa minoritas (selanjutnya disebut sebagai orang-orang yang termasuk kaum minoritas) mempunyai hak untuk menikmati kebudayaan mereka, untuk memeluk dan menjalankan agama mereka sendiri, dan untuk menggunakan bahasa mereka sendiri, dalam lingkungan sendiri dan umum dengan bebas dan tanpa gangguan atau tanpa segala bentuk diskriminasi” (Pasal 2 Ayat 1).
Sedangkan Hak khusus bukanlah merupakan hak istimewa, akan tetapi hak ini diberikan agar kaum minoritas mampu menjaga identitas, ciri-ciri, dan tradisi khasnya. Hak khusus seperti halnya perlakuan non diskriminatif sama pentingnya untuk mencapai perlakuan yang sama. Hanya ketika kaum minoritas berdaya untuk menggunakan bahasa-bahasa mereka, mendapatkan keuntungan dari pelayanan-pelayanan yang mereka organisasikan sendiri, serta berpartisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi Negara, barulah mereka mencapai status yang selama ini dimiliki oleh kelompok mayoritas. Perbedaan dalam memperlakukan kelompok atau individu yang termasuk kaum minoritas hanya dibenarkan apabila dilakukan untuk memajukan persamaan yang efektif dan kesejahteraan komunitas secara menyeluruh.
Maka jelaslah dalam film tersebut bahwa Wong Samin telah diperlakukan tidak adil oleh negara, negara telah melakukan pelanggaran terhadap hak setiap warga negara untuk memeluk dan meyakini keyakinan meraka tanpa adanya diskriminasi dari kelompok manapun, apalagi dari negara yang seharusnya melindungi dan mengayominya.
Samin merupakan simbol perlawanan yang tidak pernah berhenti, sejak zaman kolonialisme eropa sampai era totalitarisme orde baru, samin selalu menolak tunduk kepada rezim penguasa. Di era kemerdekaan Indonesia, mereka juga turut habis-habisan melawan belanda. Di era orde baru, mereka menolak kewajiban bersekolah. Karena bagi mereka, sekolah tidak berhubungan erat dengan realitas kehidupan mereka sehari-hari. Justru mereka menganggap sekolah menjauhkan mereka dari komunitasnya.
Kasus paling terbaru adalah ketika mereka menyatakan menolak proyek pembangunan pabrik Semen Gresik, yang sebagian besar wilayah pertanian wong samin akan dijadikan tempat proyek. Meskipun diiming-imingi dengan kesejahteraan dan kemakmuran oleh PT. Semen Gresik dan Pemerintah Daerah, mereka tetap menolak perusahaan tersebut didirikan didaerah tersebut.
Malahan ketika PT. Semen Gresik dan Pemerintah Daerah mencoba meyakinkan janjinya dengan mengadakan studi banding diTuban yang sudah didirikan pabrik semen, mereka justru mengadakan studi banding tandingan dengan biaya sendiri. Hasil dari studi banding merekapun sangat mengejutkan, kalau menurut Pemerintah Daerah dan PT. Semen Gresik masyarakat sekitar pabrik hidup makmur dan sejahtera, justru temuan wong samin mengatakan sebaliknya, masyarakat sekitar pabrik hidup dalam penderitaan ekonomi dan sosial yang luar biasa. Wong Samin yakin, bahwa dalam studi banding yang dilakukan Pemerintah Daerah dan PT. Semen Gresik sangat tidak fair, karena banyak realitas ketimpangan sosial-ekonomi yang tidak diperlihatkan.
Ketika PT. Semen Gresik menjanjikan kepada wong samin, bahwa dengan didirikan pabrik mereka akan lebih sejahtera, wong samin menanyakan “Apa hakekat kesejahteraan rakyat?”. Karena menurut wong samin, kesejahteraan akan bisa terpenuhi ketika mereka tidak dilepaskan dari tanah leluhurnya, ketika mereka melakukan alam dengan sebaik-baiknya, maka bertani adalah kemakmuran yang sesungguhnya bagi wong samin.
Samin adalah salah satu contoh kelompok minoritas dinegeri ini, dengan keyakinannya mereka terus menjaga tradisi dan ajaran nenek moyangnya, bagi mereka tanah adalah segalanya, menjual tanah berarti menjual harga diri dan masa depan anak cucu. Selama ini mereka selalu diperlakukan sebagai “yang lain” oleh negara, entah sampai kapan...Bagaimana?

Komentar