Demokrasi, Pilgub dan Politik “Ganti Rugi”

Beberapa waktu yang lalu, saya berkunjung disebuah Desa diKabupaten Bojonegoro yang kebetulan akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Desa. Dalam obrolan dengan beberapa warga desa disebuah warung kopi, penulis sangat serius mendengarkan diskusi beberapa warga desa yang membahas Pilkades. Sampai penulis termenung ketika mendengar ucapan “Nanti saya akan memilih siapa yang memberikan ganti rugi paling banyak, karena dengan mengikuti Pilkades saya terpaksa meninggalkan pekerjaan disawah, dan saya tetap butuh uang untuk menghidupi keluarga”.
Secara konseptual, demokrasi memiliki arti dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya dalam berdemokrasi, rakyat dituntut untuk pro-aktif dalam berpartisipasi sesuai dengan peran dan fungsinya. Hematnya dibutuhkan keikhlasan dari warga negara agar tercipta demokrasi dalam makna diatas, tanpa ada paksaan dari pihak manapun, karena sesungguhnya politik adalah hak bukan kewajiban.
Begitu juga dengan ritual demokrasi, sebut saja pemilihan gubernur jawa timur. Dibutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat sebagai konstituen untuk memberikan suaranya kepada salah satu calon dalam memimpin jawa timur lima tahun kedepan. Tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun untuk menentukan siapa yang akan dipilih.
Akan tetapi, realitas berbicara lain. Kalimat wong ndeso diatas seakan mengusik rasa ber”demokrasi” kita yang selama ini mengklaim sebagai pejuang demokrasi atau apapun namanya. Ternyata sebagian masyarakat menganggap bahwa demokrasi tidak seindah yang dibayangkan para pengamat atau profesor politik. Bagi mereka yang disana, makan lebih penting ketimbang berfikir siapa yang akan terpilih nanti sebagai pemenang dan pemimpin mereka. Karena mereka berfikir siapapun yang terpilih tidak akan dapat mengubah nasib mereka yang untuk sekedar mencari makan saja, sangat susah dan sengsara.
Memang benar, bahwa dalam berpolitik tidak dibenarkan menggunakan cara-cara money politic, karena akan mengotori permainan sehingga tidak ideal lagi untuk memilih calon pemimpin. Akan tetapi, bagaimana kalau misalnya wong ndeso diatas ternyata mewakili sebagian besar masyarakat kita yang memang memiliki prinsip politik demikian. Mereka tidak bersalah, karena memang mereka butuh makan untuk menyambung hidup.
Perilaku pemilih yang demikian tentu saja akan membuka pintu money politic secara lebih terbuka dan bebas, calon akan mengatakan bahwa kalau tidak memberikan “ganti rugi”, maka pemilih tidak akan datang sesuai target, dan kalau mereka menang dengan jumlah pemilih sedikit, legitimasi politik tidak akan kuat dan dipertanyakan oleh para pengamat politik.
Politik “ganti rugi” merupakan fenomena gunung es (untuk tidak menyebut rahasia umum). Karena memang realitas masyarakat yang masih disibukkan urusan perut, bagi mereka politik apalagi demokrasi nomor kesekian. Tentu saja kondisi demikian apabila tidak diantisipasi akan sangat menguntungkan bagi calon yang memiliki modal besar. Para calon akan berlomba-lomba menawarkan “ganti rugi” yang lebih besar untuk dapat menjadi pemenang. Bahkan tidak menutup kemungkinan semua calon akan mencari sponsor dari kalangan pengusaha untuk bisa mengumpulkan modal sebesar-besarnya. Dan siapa yang memiliki modal paling besar dialah yang memiliki peluang lebih besar. Ditambah lagi, dalam memberikan bantuan dana, pihak sponsor tidak akan memberikan secara cuma-cuma, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dan disepakati apabila nanti menang dalam pemilihan.
Gambaran diatas menjelaskan kepada kita semua bahwa ternyata demokrasi tidak seindah yang dibicarakan diforum-forum seminar. Ada banyak problem sosial-kemasyarakatan yang terkadang penyelenggara negara kurang teliti, sehingga seolah-olah apabila ada masyarakat yang menerima “ganti rugi” tersebut akan dianggap “bodoh”, “buta politik”, “menggadaikan masa depan”, dll. Padahal mereka hanya ingin mengatakan “Aku gak butuh politik, aku mung butuh mangan”. Bagaimana ?

Komentar