Agustusan

Hampir setiap negara diseluruh dunia memiliki hari kemerdekaan negeri dan bangsanya, hari kemerdekaan diambil dari kapan negera tersebut memproklamirkan kemerdekaannya. Merdeka dalam arti bebas dari penjajahan oleh negara dan/ bangsa asing. Di Indonesia, proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada tanggal 17 agustus 1945. maka setiap tanggal dan/ bulan tersebut, kemerdekaan tersebut selalu diperingati dengan berbagai bentuk aktivitas negara dan warganya.
Ketika saya berjalan-jalan dikota mataram, bendera merah-putih dengan berbagai bentuk dan model serta kata-kata “kemerdekaan” hampir saya jumpai disudut-sudut kota, terutama dipusat-pusat perbelanjaan dan instansi pemerintahan. Termasuk ketika masuk dipusat perbelanjaan “Mall Mataram” hampir semua outlet berlomba-lomba memasang bendera merah-putih, bahkan disalah satu outlet pakaian, mereka menjual baju dengan warna merah dan putih saja. ada yang atasan merah, bawahan putih, ataupun sebaliknya.
Tetapi, ketika saya melanjutkan perjalanan kerumah teman yang berada diwilayah pesisir pantai, saya tidak menemukan satupun pernak-pernik bendera merah putih dan simbol-simbol kemerdekaan layaknya dipusat perbelanjaan dan instansi pemerintah lainnya. Sepertinya agustus bukan hal yang istimewa bagi mereka.
Memperingati hari kemerdekaan merupakan ritual yang siapapun berhak melakukannya, ruang ekspresi ini sangat terbuka lebar bagi siapapun dengan kepentingan apapun. Tidak ada aturan misalnya bendera merah putih hanya boleh dipasang dipusat-pusat perbelanjaan atau instansi pemerintah, sedangkan dirumah-rumah penduduk, pos kampling, becak harus izin Pak RT.
Saat masih kecil, saya masih ingat ketika bapak saya marah-marah dan bertengkar dengan aparat desa karena bapak saya menolak untuk membeli dan memasang bendera merah-putih didepan rumahnya. Bapak saya bilang “Ora gendero-genderoan, rumangsamu tuku iku ora gawe duit, gawe mangan ae kangelan kok tuku gendero barang, enek kae gendero cilik tak pasang nang njero omah, nek gratis yo gelem, wis ndang muleh kono. Omongno lurah, aku ga butuh gendero, tapi butuh megawe penak” (tidak bendera-benderaan, apa beli itu tidak pakai uang, buat makan saja susah kok beli bendera segala, ada bendera kecil saya pasang didalam rumah, kalau gratis ya mau, sudah sana pulang. Bilang sama Kepala Desa, saya tidak butuh bendera, tapi butuh kerja yang enak).
Kemerdekaan merupakan proses pembebasan dari penjajahan, pemiskinan dan pembodohan. Tapi nyatanya, sampai sekarang bangsa ini masih dibawah bayang-bayang penjajahan walaupun tidak kelihatan secara fisik. Angka kemiskinan masih tinggi, pendidikan mahal, cari kerja susah. Mungkin itu yang ada dibenak bapak saya sampai harus bertengkar dengan aparat desa hanya karena urusan selembar bendera. Benarkah kita sudah benar-benar merdeka?
Bagi para pedagang dan pengusaha dipusat-pusat perbelanjaan itu, agustus punya makna “ekonomis” tersendiri, mereka berlomba-lomba memasang aksesoris dan pernak-pernik yang berhubungan dengan “kemerdakaan” dan “kebangsaan”, agar mereka mendapat simpati dari orang lain bahwa mereka punya rasa “nasionalisme” yang tinggi. Ketinggian rasa “nasionalisme” itu kemudian diterjemahkan dalam simbol-simbol dan pernak-pernik yang sama sekali tidak pernah berhubungan dengan substansi kemerdekaan bangsa ini.
Sementara bagi mereka yang dipesisir pantai, yang hidup sangat sederhana dengan rumah-rumah yang sangat tidak mewah itu, kemerdekaan dan rasa “nasionalisme” ada didalam hati dan jiwa. Bukan diselembar bendera dan pernak-pernik agustusan lainnya. Bagi mereka, dari pada dibelikan kain merah-putih, lebih baik dibelikan beras ataupun kebutuhan pokok lainnya.
Makna agustusan memang telah menjadi ruang perebutan antar kelas sosial, tetapi esensi dari agustusan tidak pernah dipahami dan dihayati secara mendalam oleh banyak orang. Pemerintah daerah malah seringkali menjadikan momen agustusan untuk berlomba-lomba dengan pemerintah daerah lainnya untuk membuat acara-acara pesta yang besar-besar. Atau setidaknya membuat bendera sebesar mungkin agar masuk MURI dan dianggap daerah yang memiliki rasa “kebangsaan” tinggi.
Sewaktu sekolah SD sampai SMU, saya masih teringat betul ketika agustusan dipaksa untuk mengikuti berbagai lomba memperingati kemerdekaan. Mulai dari karnaval, gerak jalan dll. Saya baru sadar, bahwa semuanya itu tidak ada yang berhubungan dengan makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Agustusan yang memberikan kita ruang refleksi bahwa sebenarnya kita belum benar-benar merdeka.
Agustusan sebagai momen refleksi telah lepas dari makna hakikatnya, semuanya telah tertutup dengan hura-hura dan kesenangan-kesenangan sesaat. Atau jangan-jangan ini siasat negara untuk menutupi semua kelemahan dan kekurangan negeri ini dalam mengisi kemerdekaannya. Ekspresi agustusan yang ditunjukkan oleh masyarakat pinggiran sejatinya telah memberikan inspirasi bagi semua orang, bahwa negeri ini belum sepenuhnya merdeka. Bahwa mereka yang memasang bendera dan pernak-pernik agustusan lainnya belum tentu memiliki rasa “nasionalisme” dan “kebangsaan” yang lebih dibanding mereka yang tidak memasangnya karena persoalan “makan lebih penting dari pada bendera”. Bagaimana?

Komentar